Moderasi Takdir, Telaah Tragedi PP Al Khoziny

09 Oktober 2025
Berita
Moderasi Takdir, Telaah Tragedi PP Al Khoziny

Kita semua masih dalam keadaan berduka. Musibah robohnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur pada Senin 29 September 2025 lalu, telah merenggut nyawa 67 korban meninggal dunia, termasuk delapan bagian tubuh (body part), hingga penutupan operasi pencarian dan pertolongan oleh Basarnas pada Selasa 7 Oktober kemarin.

Peristiwa tragis ini berlangsung saat para santri tengah melaksanakan salat Ashar berjamaah, ketika struktur bangunan musala tiga lantai runtuh tiba-tiba ke dasar.

Tragedi  yang menelan korban jiwa dan meninggalkan luka mendalam bagi publik Indonesia, memunculkan berbagai pertanyaan penting terutama: apakah ini murni ‘takdir’, atau ada kelalaian yang semestinya dipertanggungjawabkan? Bagaimana seharusnya kita memahami takdir dalam bingkai Islam ketika musibah seperti ini justru menimpa lingkungan yang mestinya menjadi ruang pemahaman mengenai iman?

Ada beberapa media yang menggiring narasi yang seolah ingin menafikan takdir dalam peristiwa ini. Anggapan semacam ini  menunjukan betapa jurnalis pun butuh memahami akidah dengan baik dan benar. Pernyataan “takdir” yang diucapkan oleh pengasuh PP Al Khoziny seolah mengakhiri semua kritik dan evaluasi: “Ini sudah kehendak Allah, kita harus ikhlas.” Tapi publik memandang bahwa takdir tidak bisa dipakai sebagai “akrobat lidah” agar tidak mempertanggungjawabkan potensi kesalahan manusia.

Mestinya dalam konteks ini, kita memahami konsep takdir, bahwa antara usaha manusia dengan ketetapan Tuhan bukanlah dua hal yang bertentangan. Ungkapan "ini adalah Takdir Allah", semestinya dipahami dengan pola pikir bahwa semua proses pembangunan yang selama ini dijalankan ternyata masih terdapat beberapa kesalahan konstruksi sehingga Tuhan membuat ketetapan "Ambruk" dari cara pembangunan seperti itu.

Pernyataan pengasuh pesantren, KH Ahmad Zaini Al-Khoziny, bahwa “ini sudah takdir Allah,” adalah bentuk keteguhan iman dalam menghadapi musibah. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat menilai bahwa penyebab runtuhnya bangunan juga perlu dilihat secara objektif: apakah terdapat kesalahan konstruksi, kelalaian teknis, atau pengawasan yang lemah? Di sinilah Islam menghadirkan keseimbangan antara iman kepada takdir dan pertanggungjawaban manusia.

Hari ini, kita semestinya mengambil jalan tengah. Moderasi dalam memahami takdir berarti menyadari bahwa manusia diberi ruang untuk berusaha, memilih, merancang, bahkan membangun. Tetapi di atas semua itu, Allah yang menentukan hasil akhirnya. Pandangan ini membuat kita tidak jumawa atas usaha, tetapi juga tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Kesalahan desain, kelalaian pengawasan, atau kecerobohan pembangunan adalah bagian dari tanggung jawab manusia. Ia bukan takdir dalam arti “nasib” yang tak bisa dihindari, melainkan konsekuensi dari pilihan dan tindakan kita sendiri.

Sekarang mari kita melihat kasus ini menggunakan dasar pertimbangan ilmiah. Dalam al-Fiqhu wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Zuhaily membedakan antara dua kondisi ambruknya suatu bangunan. Yang pertama adalah khalal aṣhli, yaitu kerusakan yang melekat sejak awal karena kesalahan perencanaan, desain, atau bahan bangunan yang cacat. Dalam hal ini, pemilik bangunan bertanggung jawab penuh (dhamān), termasuk bila menyebabkan kematian, dengan kewajiban diyat setara 100 ekor unta atau uang yang sepadan.

Kondisi yang kedua adalah khalal thāri’, yaitu kerusakan yang muncul kemudian karena sebab baru, seperti faktor alam atau kelalaian pemeliharaan.

Beberapa ahli konstruksi melakukan penelusuran, dan mengatakan bahwa runtuhnya bangunan di PP Al Khoziny disebabkan oleh kegagalan struktur sejak awal fondasi tidak memadai, penambahan lantai tanpa perhitungan teknis, dan beban pengecoran yang berlebih. Tidak ada indikasi faktor eksternal seperti gempa atau banjir.

Dengan demikian, dari sudut pandang fikih, kasus ini masuk dalam kategori khalal ashli: cacat bawaan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Dalam kerangka hukum Islam, hal ini menimbulkan tanggung jawab dhamān bagi pihak yang memiliki otoritas pembangunan, baik pengelola pesantren maupun pelaksana teknis, sesuai kadar keterlibatannya.

Namun tentu, ini bukan untuk memvonis secara sepihak, melainkan pembacaan ilmiah terhadap fikih. Islam mengajarkan keadilan: siapa pun yang menjadi sebab bahaya wajib menanggung akibatnya.

Tragedi PP Al Khoziny bukan sekadar kisah duka, melainkan juga cermin bagi dunia Islam modern: bahwa membangun pesantren bukan hanya tentang dinding dan atap yang terbangun, tetapi juga menegakkan nilai-nilai amanah, kehati-hatian, dan profesionalisme — agar ruang ilmiah dan ibadah benar-benar menjadi tempat yang membawa keselamatan, bagi pemeluknya bukan sebaliknya.
 
*Oleh: Muhammad Faza Afan Rosyadi, Kader GP Ansor Kroya, Cilacap

Penulis :Mohammad Saifulloh